Pejuang Gunung Hejo

PEJUANG DARI GUNUNG HEJO

Suatu hari di Desa Gunung Hejo, Purwakarta. Desau angin menyapa rimbunan pohon karet. Suaranya gemerisik, ditingkahi bunyi riang beberapa bocah yang tengah bermain petak umpet. Tak jauh dari bocah-bocah itu, di sebuah rumah sederhana, Djudju Djunaedi (65) tengah sibuk memasukan beberapa majalah dan buku bekas ke tas kain sandang yang berwarna hitam lusuh.

Usai membenahi barang-barang tersebut, ia lantas meraih topi bisbol-nya dan mengenakan sepasang sepatu usang berwarna hitam. Setelah pamit kepada sang istri, Heni Saeni, lelaki itu bergegas keluar dan dengan langkah pasti memulai aktivitas mulianya: mengajak orang-orang kampung untuk membaca.

Begitulah kiprah Bah Udju (panggilan akrab orang Gunung Hejo kepada Djudju Djunaedi) dalam mengisi hari-harinya. Laiknya petugas perpustakaan keliling profesional, Abah Udju tanpa mengenal rasa lelah terus mengajak orang-orang kampung di Gunung Hejo dan sekitarnya untuk mencintai buku dan gandrung membaca. Apa yang menyebabkan ia bersikeras melaksanakan aktivitasnya yang pernah dicibir orang sebagai “perbuatan aneh dan gila” itu?

“Saya hanya ingin menularkan manfaat membaca buku yang saya rasakan kepada orang-orang di sini,” katanya lugu.

Berawal dari Rengekan Anak

Bah Udju memang sudah lama mencintai hobi membaca. Persinggungannya dengan buku dan majalah berawal sejak 1983. Kala itu anak sulungnya yang bernama Edi Rochman selalu merengek minta dibelikan benda-benda itu, “Anak saya suka sekali majalah otomotif dan bacaan anak-anak,” kenang ayah dari tiga putra itu.

Kendati hanya seorang karyawan kecil di perkebunan milik pemerintah, demi sayangnya kepada sang anak, Si Abah lantas meluluskan permintaan itu. Alih-alih merasa cukup dengan satu dua buku dan majalah, tiap minggu Edi kecil malah semakin rutin meminta dibelikan benda-benda tersebut.

Bah Udju tak lantas berang dan memarahi sang anak. Tak jarang untuk menyenangkan sang anak, ia malah rela pinjam uang sana sini. “Saya pikir tidak apa-apa, toh itu positif dan memang saya secara pribadi juga hobi membaca,” kata pensiunan pegawai PTPN 8 Cikumpay Afdeling Gunung Hejo tersebut.

Dari hari ke hari, majalah dan buku yang dibelinya kian bertambah. Hingga 1988, sudah sekitar 200 majalah dan buku menumpuk di rumahnya. Meskipun demikian, dia belum memiliki rencana apapun. Sampai suatu hari, beberapa anak yang menjadi murid mengaji sang istri meminjamnya. Selain untuk dibaca, “Ada yang disuruh gurunya untuk membuat kliping,” ujarnya.

Ia merasa senang saja melihat minat anak-anak itu dan tak terbetik sedikit pun di hatinya untuk membatasi anak-anak lain ikut membaca koleksi buku dan majalah miliknya. Bahkan khusus untuk membuat kliping, kadang dia memberikan bahan-bahannya itu secara gratis. “Mau diapakan majalah itu, asal berguna, mangga wae (silakan saja),” kata Bah Udju.

Masalahnya, tiap hari anak-anak yang berminat membaca jumlahnya semakin meningkat, sedangkan jumlah bahan bacaan sangat terbatas. Menyaksikan itu, Djuju mendapat ide untuk mengirim surat ke beberapa media nasional. Isinya meminta para pembaca untuk menyumbangkan majalah-majalah bekas dan buku ke perpustakaannya.

Gayung bersambut. Tak lama kemudian, sumbangan dari berbagai penjuru mengalir deras ke rumahnya. Hampir tiap minggu, kiriman majalah dan buku tiba sampai angka ratusan. Saat itu jumlah majalah dan buku yang ada sudah mencapai angka sepuluh ribuan eksemplar. Dia sampai bingung sendiri, “Bagaimana caranya amanah ini disampaikan ke masyarakat?”

Mendirikan Perpustakaan Saba Desa

Siang malam Djudju memikirkan cara yang efektif untuk mengelola bahan-bahan bacaan itu. Hingga akhirnya sampailah ia pada sebuah keputusan untuk mendirikan perpustakaan. Persoalan muncul saat peminat yang datang hanya anak-anak semata. Padahal, ia pun menginginkan orang-orang dewasa (terutama anak muda) untuk aktif membaca. Lantas, terbetiklah “ilham” untuk menyebarkan sendiri majalah dan buku tersebut. Caranya? “Saya datangi orang kampung, saya tawari dari rumah ke rumah,” ujarnya mantap.

Maka jadilah dia petugas keliling perpustakaan Saba Desa (artinya:keliling desa). Sepulang kerja, berjalan kaki dia menyusuri pelosok beberapa kampung, menawari orang-orang untuk membaca majalah dan buku. Pada mulanya, orang-orang kampung bersikap sinis terhadap aksinya itu. Bahkan salah satu tetangganya pernah menolak tawaran Bah Udju untuk membaca sambil berkata: “Ngapain baca buku dan majalah? Kayak orang gedean aja.”

Tapi bukanlah Bah Udju jika lantas berkecil hati menghadapi penolakan seperti itu. Dengan berbagai cara, ia terus berupaya menjadikan orang-orang tertarik untuk membaca. Diantaranya dengan menawarkan berbagai majalah perempuan yang memuat berbagai resep makanan kepada para ibu dan memperlihatkan buku-buku cerita bergambar kepada para bocah. Hasilnya, langganan Bah Udju pun makin bertambah.

Dirampok Preman Kampung
Selama berkeliling, banyak kejadian unik yang dialami Bah Udju. Termasuk saat ia dirampok sekelompok preman kampung. Ceritanya, suatu sore di tahun 1996. Saat itu hujan turun, dan dia berteduh di sebuah warung yang di dalamnya ada banyak pemuda. Beberapa jam kemudian, begitu hujan reda, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun baru saja berjalan sekitar 100 meter dua pemuda besepeda motor memepet Udju.

“Pak, minta rokok?!” hardik salah seorang dari pemuda tersebut.

Bah Udju berusaha tenang. Sambil berkata lembut, ia menyatakan bahwa dirinya tidak merokok. “Kalau begitu, saya minta uang!” kata pemuda yang satunya lagi dalam nada kasar. Tidak ingin berpanjang mulut, Bah Udju lalu memberikan uang Rp.5.000 kepada mereka.

“Masa cuma segini?!” Ditanya demikian, Bah Udju coba menjelaskan bahwa ia hanya punya uang Rp.6.500. Alih-alih merasa iba, para pemuda itu justru dengan kasar merebut buntalan kain yang dibawa Udju sambil langsung melarikan sepeda motornya.

Diperlakukan seperti itu, Bah Udju tidak coba melawan. Ia pasrah. Di tengah sisa asap knalpot sepeda motor yang meludahi udara sekitarnya, ia hanya bisa berdoa dalam hati semoga Tuhan melindunginya. “Saya putuskan untuk pulang saja ke rumah saat itu,” kenangnya.

Setelah sekitar 30 meter berjalan dari tempat kejadian, betapa terkejutnya Bah Udju saat melihat buntelan yang tadi dirampas para pemuda tersebut ada di pinggir jalan dalam kondisi isinya sudah berserakan. “Rupanya mereka membuangnya karena isi buntalan itu bukan barang berharga di mata mereka, tapi hanya buku dan majalah bekas,” ujar Bah Udju seraya tersenyum.

Kendati sebagian buku tersebut basah karena air hujan yang menggenang di jalanan, Udju tetap tak tega untuk mengacuhkannya. Dengan hati-hati, ia pun memunguti satu persatu buku-buku yang berserakan itu dan kembali membawanya pulang. “Buku-buku itu ibarat hidup saya, jadi harus saya rawat sebaik mungkin,” katanya.

Saat mengedarkan buku dan majalah bekasnya, Bah Udju tidak pernah menetapkan tarif resmi. Berapapun dibayar dia selalu menerimanya. Namun, menurutnya, kebanyakan buku dan majalahnya dipinjamkan secara gratis. “Teu nanaon,yang penting mereka mau baca, saya udah senang,” katanya polos.

Lalu dari mana ia menghidupi dirinya dan keluarganya? Selain dari uang pensiunannya yang hanya Rp.250.000/bulan, Bah Udju hanya mengandalkan pemberian dari para langganannya.” Ya tiap harinya, alhamdulillah selalu cukup buat hidup saya dan keluarga. Kadang hanya mendapatkan Rp.20.000,- atau Rp.30.000 atau malah hanya Rp.5.000,” ungkapnya seraya tersenyum.

Soal rezeki ini, Bah Udju benar-benar pasrah kepada ketentuanNya. Pun saat anak-anaknya menyarankan ia untuk menentukan tarif penyewaan buku, Bah Udju langsung menolaknya. Ia enggan melakukan itu sebab yakin tanggungjawab kerjanya adalah langsung kepada Tuhan. Karena itu, dia tidak ingin menyia-nyiakan tanggungjawab tersebut dengan menangguk keuntungan pribadi dari kegiatan yang dicintainya.

Sri Lestari (41), salah seorang pelanggannya, menjadi saksi keteguhan tekad Bah Udju. Menurut ibu muda itu, Djudju melakukan kerjanya seolah tanpa mengenal kata lelah, “Mau hujan lebat, panas terik, dia mah terus nawarin buku dan majalah sampai ke pelosok kampung-kampung,” ujar staf umum di balai desa Linggarsari tersebut.

Soal keuletan itu juga diakui oleh Tutang Hendra (46). Lelaki yang sejak muda sudah menjadi pelanggan Bah Udju itu kadang merasa malu dan kagum kepada semangat Bah Udju. ” Saya kadang ngenes kalau melihat beliau datang ke sini dengan kondisi basah kuyup atau bermandikan keringat,” ujar lelaki yang saat ini menjabat Kepala Sekolah SD.Linggarsari I itu.

Walau hidupnya terhitung sangat sederhana, Bah Udju pantang minta dikasihani. Selain keikhlasan dan kejujurannya, masyarakat Kecamatan Darangdan pun mengenal lelaki sepuh ini sebagai pribadi yang memiliki tekad kuat mencapai keinginan mulianya.

Untuk cita-citanya itu, tak jarang Bah Udju harus pulang hampir tengah malam. Dengan sepatu usang, baju lusuh dan tas bututnya, ia menyusuri hari-hari dalam sebuah pengabdian yang tak berbatas, “Saya begini karena saya ingin masyarakat di sini pintar dan hobi membaca,” katanya sambil tersenyum tulus.

Belakangan ini, Bah Udju berkeliling hanya seminggu dua kali. Bukan karena ia sudah merasa malas dan tak bersemangat lagi, namun tak lebih karena bahan-bahan bacaan yang ia punya sudah habis terbaca para pelanggannya. “Yang saya butuhkan sekarang adalah buku-buku novel dan cerita buat anak-anak karena banyak peminatnya,” ungkapnya.

Rimbunan pohon karet mengepung sebuah rumah sederhana di Desa Gunung Hejo, Purwakarta. Di bagian depan rumah yang dipenuhi tanaman obat dan sayur mayur itu, ribuan buku dan majalah tergeletak, sebagian sudah ditata rapi di dua rak buku. Kendati hanya barang-barang bekas, buku-buku dan majalah-majalah itu adalah saksi bisu upaya mulia dari seorang pejuang tua. (Akang Hendi Jo / Islam Indonesia) foto:hendijo

Catatan dari Redaksi: Jika ada kawan-kawan yang berkenan menyumbangkan apapun, terutama buku-buku novel dan cerita anak-anak, silakan kirim ke alamat ini: Bapak Djudju Djunaedi (Abah Udju) d/a Perpustakaan Saba Desa RT 10/ RW 03 Desa Gunung Hejo, Darangdan, Purwakarta.