Assalamualaikum para sahabat 🙂 Terima kasih atas silahturahminya. Mulai saat ini dan seterusnya, blog ini akan mencoba menampilkan profil-profil mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan. Semoga membawa manfaat bagi kita semua. Wassalamualaikum.

=======================================================

Barisan Kemanusiaan Imam Prasodjo

Sumber artikel: www.alifmagz.com

Bentuk kebahagiaan sosiolog yang satu ini mungkin berbeda dari kebanyakan orang. Hal itu yang mendorongnya untuk terjun langsung di berbagai kegiatan kemanusiaan. Tak hanya sekedar menolong orang, namun merancang kegiatan dengan sistem yang baik sehingga dapat berkesinambungan.

Rumah DR. Imam Budidarmawan Prasodjo yang merupakan rumah almarhum mertuanya, Prof. DR. Miriam Budiarjo di jalan Proklamasi memang besar. Namun terlihat sesak dengan banyaknya tumpukkan kardus. Penghuninya tak hanya keluarga sosiolog senior ini saja, tampak juga beberapa relawan keluar masuk rumah tersebut dengan bebasnya. Entah bagaimana si empunya rumah mempertahankan privacy-nya, tapi sepertinya tidak ada yang merasa dirugikan dengan keadaan tersebut.

Kegiatan sosial sosiolog berkacamata di berbagai LSM dan yayasan lebih besar porsinya dibanding kegiatannya dalam menjalankan profesi menjadi dosen sosiologi untuk mahasiswa S1 dan S2 di FISIP UI. Kiprahnya di Yayasan Nurani Dunia telah menorehkan catatan panjang hasil yang dapat dinikmati oleh masyarakat banyak. Seperti dibangun dan direnovasinya sekitar 25 sekolah di daerah miskin atau rawan konflik, membuka beberapa perpustakaan, antara lain di wilayah Kampung Melayu, Kapuk, Kampung Bonang, hingga ke Bantul-Yogyakarta, dan Banjarnegara-Jawa Tengah. Program pembangunan rumah seperti di Aceh dan Yogyakarta, serta bekerjasama dengan WHO mengelola program pengelolaan air bersih di Madura dan banyak lagi.

“Saya sedang merintis pembuatan perpustakaan di gardu-gardu ronda,” ucapnya membuka pembicaraan, “Tentu saja gardunya yang berada di tengah-tengah komunitas, seperti perkampungan. Jadi ada yang mengelola. Sudah saatnya kita menginventarisasi seluruh physical capital yang kita miliki bersama namun tidak digunakan secara maksimal, seperti masjid atau langgar dan gardu ronda. Lihat saja di Al-Azhar, Kairo. Itu masjid tapi ada kegiatan belajar mengajar. Jadi saya sedang merombak masjid. Seperti masjid di Kapuk, saya rombak menjadi masjid yang memiliki perpustakaan. Di Purworejo ada langgar yang ditingkatkan. Di atas untuk shalat, di bawahnya ada perpustakaan dan komputer. Sayang kan, kalau masjid hanya ramai di hari Jum’at saja!” ucapnya sambil membayangkan adanya masjid yang lengkap dengan audio center dan pusat data tempat orang bisa melakukan diskusi atau kajian-kajian.

Tidak Selalu Harus Uang
Semangatnya meledak-ledak jika menceritakan deretan kegiatan yang tengah dilakukannya secara acak. Sesekali dicarinya foto-foto di bawah meja atau dibukanya satu-dua kardus sambil mengeluarkan beberapa buku sambil terus bercerita. Apa yang membuat mantan anggota KPU dan Direktur Center for Research on Intergroup Relations and Conflict Resolution [CERIC] ini begitu total dalam melakukan kegiatan kemanusiaan? Sejenak ia terdiam, lalu berkata, “Ayah saya meninggal muda, ibu saya juga. Apa yang bisa ditinggalkan seseorang? Coba lihat KH Ahmad Dahlan. Ia dikenal, tapi tidak terlalu terkenal. Namun dia meninggalkan organisasi yang kegunaannya banyak sekali. Di sisi lain, ada juga orang yang dapat nobel prize, tapi apa perannya untuk orang banyak?” ucap suami Gitayana ini.

Imam melanjutkan, “Yang menggerakkan…tidak selalu uang kan? Misalnya seorang ibu ingin membesarkan anaknya jadi anak yang baik, apa karena dibayar? Pasti dia kerja mati-matian tanpa dibayar, tanpa pamrih. Sama, kita juga cukup bahagia jika perpustakaan di Ternate, misalnya, bisa berkembang. Banyak orang yang mengartikulasikan kebahagiaan dengan cara itu,” jelasnya lagi.

“Di kampus kan ada Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian sosial. Nah pengabdian sosial ini yang harusnya dikembangkan. Saya ingin ada snowbowling effect. Jadi kalau saya mati pun, kegiatan ini akan terus bergulir dan semakin banyak. Kan harus membentuk lembaga-lembaga, mengader orang. Orang lain mungkin berpikir bagaimana supaya mendapat kekayaan. Kalau saya berpikir bagaimana mendapat dana abadi supaya kegiatan ini bisa berjalan untuk kepentingan orang banyak. Jadi harus dipikirkan sustainable issue. Misalnya di perpustakaan ada kantinnya, sehingga orang yang menjaga perpustakaan mendapatkan uang dari [berjualan di] kantin,” sambungnya.

Untuk menjaga agar kegiatannya dapat berjalan dalam jangka waktu yang lama, Imam dan para relawan melakukan pengorganisasian sosial. “Orang mau berinteraksi menyusun suatu gerakan, bukan kerumunan, tapi barisan. Setelah membangun sekolah lewat kepanitiaan, panitia tersebut dibakukan menjadi suatu lembaga yang nantinya mengelola jalannya sekolah,” jelas ayah dua anak ini. Kini lembaga yang terbentuk semakin banyak, di antaranya ada di Pondok Kacang, Banjarnegara, Purwakarta, dan banyak lagi, “Kalau orang sudah jadi jaringan, ibarat kereta, sudah punya kusir sendiri, jadi lebih gampang mengorganisirnya,” tuturnya.

Menjaga Amanah dengan Sistem
Apa yang dilakukan bukannya tanpa hambatan. Banyak orang yang telah dibantunya justru berbalik mencacimaki dirinya. Atau ketika sedang kebingungan mencari tambahan dana untuk pembangunan rumah di suatu daerah, ada SMS yang masuk dan minta pembagian keuntungan. “Rasanya kepengin jitak…!,” serunya sambil tertawa berderai. Namun dari peristiwa-peristiwa tersebutlah ia belajar memahami yang dinamakan ikhlas dan berserah diri, “Seperti waktu ibu saya meninggal, saat itulah saya baru menyadari artinya tawakal.”

Mencoba jujur, menurut Imam, bukanlah hal yang mudah, “Kadang-kadang nggak rela juga saya ikhlas sama orang kayak gitu. Biarin deh, nggak dapat pahala dari yang itu. Orang sudah setengah mati diperjuangkan, eh dia malah memaki-maki, memfitnah segala macam. Di situlah ada dialog batin. Walaupun rasanya ingin menampar, tapi ditahan. Coba dimaafkan,” kenangnya. Lucunya, banyak orang yang tidak dikenalnya, justru menawarkan bantuan. Seperti ada beberapa relawan asing dari berbagai negara yang ikut membantu yayasannya tanpa pamrih dan ikut tinggal bersamanya secara bergantian.

Kata kelahiran Purwokerto yang kompak bersama istri menjalankan berbagai kegiatan bersama ini, ia merasa harus hati-hati dalam memegang amanah para pemberi dana, “Dipercayai untuk memegang uang sebanyak itu gimana menjaga dirinya? Saya sebagai orang yang belajar ilmu sosial yakin akan sulit bagi seseorang yang punya moral Islam sekalipun untuk menjaga amanah jika tidak dibuat sistem, tidak ada audit dan tidak ada manajemen. Bagaimana pun sistem harus dibuat berlapis-lapis. Karena jika tidak ada sistem, maka kegiatan apa pun akan rentan korupsi. Jadi jika termotivasi untuk melakukan kebaikan dan agar berkelanjutan, maka hal itu hanya akan berhasil jika dibuat sistem,” sambungnya lagi.

“Sekarang bagaimana mendorong banyak pihak untuk mau menyisakan waktu yang sekian banyak itu untuk melakukan kegiatan kemanusiaan. Menolong itu hiburan, lho. Kalau sudah addicted, orang akan cenderung melakukan itu, daripada melewatkan waktu senggang dengan kegiatan yang meaningless. Dari pada ke mal, sekalisekali ke perpustakaan lah untuk story telling, misalnya. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan hubungan secara horisontal sekaligus vertikal. Banyak yang tidak paham bahwa jika kita melakukan itu dampaknya ke kita juga. Tapi jangan terlalu kalkulatif… saru [tabu-red]!” pungkasnya sambil tertawa lebar. « [esthi]

Biodata
Nama Imam Budidarmawan Prasodjo
Lahir Purwokerto, 15 Pebruari 1960
Agama Islam
Pendidikan

  • S1, FISIP UI, 1986
  • MA, Kansas State University, Manhattan AS 1990
  • PhD, Brown University, Rhode Island, AS 1997

Pekerjaan Dosen FISIP UI – Direktur CERIC
Istri Gitayana Prasodjo
Anak Rauf [23] Adila [22]